Oleh: Handayani, S.Pd
I. PENGANTAR
Syabab.Com - Pendidikan dalam konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban merupakan salah satu kebutuhan (jasa) asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya.
Fitrah kehidupan manusia adalah menjalani kehidupan ini sesuai dengan aturan-aturan kehidupan yang telah ditetapkan oleh penciptanya, yaitu Allah Swt karena Dia yang paling mengetahui segalanya tentang makhluk ciptaan-Nya. Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-KuKemudian juga firman-Nya: Sesungguhnya Tuhanmu Maha luas ampunan-Nya. dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin di dalam perut ibumu; Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (QS. An-Najm[53]:32)Fitrah ini pula yang akan mengangkat harkat dan martabat manusia pada posisi yang seharusnya yaitu sebagai makhluk paling mulia yang diciptakan Allah Swt yang diantaranya dapat tetap terpelihara dengan didukung oleh keberhasilan suatu proses pendidikan. Sebagaimana Firman-Nya: (Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar [39]:9) ...Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Mujadalah [58]:11)
dapun terkait dengan tuntutan untuk membangun sebuah peradaban dunia dengan islam adalah adanya perintah dari As-Syari’ (Allah Swt) yang tegas dinyatakan dalam Al-qur’an maupun As-Sunnah, baik yang menyangkut tuntutan untuk menghukumi seluruh problematika kehidupan dengan islam, kewajiban menegakan khilafah islam yang akan mengemban dakwah dan jihad ke berbagai penjuru dunia, maupun kewajiban untuk menjaga keberlangsungan kehidupan islam tersebut yang diantaranya pula membutuhkan keberadaan sistem pendidikan.
Sehingga, penguasaan terhadap ilmu, pengetahuan-teknologi, aspek-aspek materi (hasil-hasil teknologi) dan kemajuan-kemajuan lainnya merupakan sesuatu yang harus disadari oleh kaum muslimin sebagai kebutuhan dan kewajiban yang harus selalu dilaksanakan dalam menjaga keberlangsungan kehidupan (peradaban) islam di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah.
Firman-Nya dalam Al-qur’an:Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab [33]:36)Ataupun firman-Nya yang berkaitan dengan kewajiban mempersiapkan kekuatan kaum muslimin:Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. (QS. Al-Anfal [8]:60)Mempersiapkan kekuatan (persenjataan, pasukan, teknologi, strategi, dsb) untuk menghadapi musuh-musuh islam, merupakan aktifitas kewajiban bagi Daulah Khilafah dan kaum muslimin yang untuk mengimplementasikannya memerlukan dukungan sumber daya manusia yang cerdas, terlatih dan pandai, dimana mereka semua dapat dihasilkan melalui suatu proses pendidikan yang berkualitas tentunya.Sedangkan hadits Rasulullah Saw yang berkaitan dengan kewajiban penyelenggaraan pendidikan oleh negara bagi kaum muslimin, antara lain:
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim (HR. Ibnu Adi dan Baihaqi) ataupun,Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri china (HR. Ibnu Adi dan Baihaqi dari Annas RA)
Kemudian,
Seorang imam (kepala negara) adalah bagaikan penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (HR. Akhmad, Syaikhan, Tirmidzi)
Hadits di atas menunjukan bahwa pendidikan merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Sedangkan negara merupakan pihak yang wajib memberikan layanan pendidikan tersebut kepada rakyatnya sebagai implementasi dari tanggung jawab yang diamanahkan kepada pemerintah tersebut. Dengan demikian kaum muslimin pun telah mendapatkan kemudahan jalan menuju syurga melalui aktifitas pendidikan sebagaimana yang dijanjikan dan juga dipersyaratkan oleh Allah Swt, bahwa:Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan jalan baginya menuju syurga. (HR. Muslim dan Tirmidzi dari Abu Hurairah)Kemudian, Barang siapa yang menghendaki kebahagiaan hidup di dunia, maka hendaklah dicapai dengan ilmu. Barang siapa yang menghendaki kebahagiaan hidup di akhirat, maka hendaklah dicapai dengan ilmu. Dan barang siapa menghendaki kebahagiaan keduanya (dunia dan akhirat), maka hendaklah dicapai dengan ilmu. (HR. Thabrani)
Saat ini Indonesia sebagai salah satu negeri kaum muslimin terbesar telah didera oleh berbagai keterpurukan, yang diantara penyebab keterpurukan tersebut terjadi karena kekeliruan dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasionalnya. Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Berdasarkan definisi ini maka terdapat beberapa kecakapan hidup yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan.
Berangkat dari definisi di atas maka dapat difahami bahwa secara formal sistem pendidikan indonesia diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, sesungguhnya sistem pendidikan indonesia saat ini tengah berjalan di atas rel kehidupan ‘sekulerisme’ yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, termasuk dalam penyelenggaran sistem pendidikan. Meskipun, pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, "Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air." Perlu difahami bahwa sekularisme bukanlah pandangan hidup yang tidak mengakui adanya Tuhan. Melainkan, meyakini adanya Tuhan sebatas sebagai pencipta saja, dan peranan-Nya dalam pengaturan kehidupan manusia tidak boleh dominan. Sehingga manusia sendirilah yang dianggap lebih berhak untuk mendominasi berbagai pengaturan kehidupannya sekaligus memarjinalkan peranan Tuhan.
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD 1945, maupun dalam regulasi derivatnya seperti UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengah di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb). Kemudian dalam cakupan yang lebih operasional, maka peraturan menteri; peraturan daerah yang dibuat para gubernur, walikota/bupati; serta keseriusan para anggota DPRD juga memiliki andil yang besar untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan nasional dalam lingkup daerah. Adapun berkembangnya dinamika sosial sebagai bentuk aksi-reaksi masyarakat terhadap keberlangsungan berbagai bidang kehidupan (politik, ekonomi, sosial-budaya, bahkan ideologi) ditengah-tengah mereka juga turut mempengaruhi dinamika pendidikan, karena berbagai bidang kehidupan tersebut realitasnya merupakan subsistem yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam suatu sistem yang lebih besar yaitu sistem pemerintahan. Pendidikan merupakan salah satu subsistem yang sentral, sehingga senantiasa perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan dalam menjaga kontinuitas proses kehidupan dalam berbagai aspek di tengah-tengah masyarakat (negara) tersebut (input-proses-output). Demikian, dalam upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional ternyata memerlukan adanya perbaikan pula dalam aspek sistemik (regulasi) serta meningkatnya kontrol sosial dari masyarakat.
Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Menanggapi hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (Kompas,5/9/2001).
Kemudian berdasarkan laporan dari United Nations Development Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005, menyatakan bahwa Indeks pembangunan manusia di Indonesia ternyata tetap buruk. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke-111 dari 175 negara ditambah wilayah khusus Hong Kong dan wilayah pendudukan Palestina yang diteliti Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Data yang termuat dalam situs www.undp.org/hdr2004 terasa menyakitkan jika posisi Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara anggota ASEAN lainnya. Singapura (25), Brunei Darussalam (33) Malaysia ( 58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Myanmar (132) dan Laos (135) (www.suara pembaruan.com/16 juli 2004 dan Pan Mohamad Faiz. 2006).Kondisi ini menunjukan adanya hubungan yang berarti antara penyelenggaraan pendidikan dengan kualitas pembangunan sumber daya manusia indonesia yang dihasilkan selama ini, meskipun masih ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya. (bersambung) /Pemetaan Masalah Pendidikan
Rabu, 12 Desember 2007
MBS = Masyarakat Bayar Sendiri
Darmaningtyas
INAWATI (13) gadis cilik dari Bogor itu menuturkan, dirinya tidak sekolah ke jenjang SLTP karena tidak punya biaya. Ayahnya seorang pengangguran, kadang menjual minuman botol. Sementara ibunya hanya pekerja rumah tangga. Karena keinginan sekolahnya tinggi, ia masuk ke sanggar belajar yang difasilitasi lembaga swadaya masyarakat. Namun, itu tidak dikatakan kepada ibunya karena pasti tidak diizinkan. Ibunya menuntut dia bekerja untuk menopang ekonomi keluarga.
KISAH itu terungkap saat dialog dengan anak-anak miskin di Jakarta, 23 Juli 2004, yang diprakarasai Yayasan Kelopak dan kawan-kawan. Ketika ditanya, "siapa yang tidak bersekolah?", ternyata yang tunjuk jari lebih dari 10 anak atau sekitar 20 persen dari anak-anak yang hadir. Semua anak yang tidak bersekolah itu memiliki alasan sama: tidak ada biaya dan dituntut bekerja oleh orangtuanya. Di Yogyakarta, ada orangtua yang menunda anaknya masuk sekolah dasar (SD) guna menunggu kakaknya lulus dulu sehingga bebannya tidak berat.
Bila kita melihat bahwa stratifikasi sosial di masyarakat "didominasi" kelas bawah, kasus anak-anak tidak bisa sekolah karena masalah biaya itu menjadi amat banyak, jumlahnya mencapai jutaan, hanya saja tidak termonitor.
Atas keadaan itu, negara juga tidak peduli terhadap nasib orang miskin. Terbukti, pada acara dialog itu, tidak seorang pun pejabat negara hadir meski Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) diundang. Bahkan, wakil dari Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang berjanji hadir pun tidak jadi datang. Mereka memilih pergi ke Ancol yang dihadiri Presiden Megawati serta anak-anak kaya dan pintar. Anak-anak yang miskin dan terpinggirkan tidak memperoleh perhatian sama sekali.
Kemiskinan dan ketidakadilan
Kemiskinan dan ketidakadilan merupakan akar masalah dari persoalan rendahnya angka partisipasi di SLTP sehingga Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP baru mencapai 77,40 persen meski program Wajib Belajar Sembilan Tahun sudah berlangsung sepuluh tahun. Mayoritas alasan tidak bersekolah adalah karena faktor biaya. Namun di lain pihak, pertumbuhan kendaraan pribadi di kota-kota besar maupun kecil amat tinggi. Ini menunjukkan adanya suatu ironi ketidakadilan: di antara banyak orang-orang yang hidup dalam kemiskinan, banyak pula yang hidup dalam kemewahan. Masalahnya, adanya ketidakpekaan dari yang kaya terhadap yang miskin.
Ironisnya, ketidakadilan juga diperlihatkan negara. Di satu pihak anggaran pendidikan dikurangi dengan alasan negara sedang bangkrut, tetapi di lain pihak negara bisa membayar bunga dan cicilan utang luar negeri yang mencapai Rp 134 triliun dalam satu tahun, bisa memberi uang pesangon pegawai kontrakan BPPN ratusan miliar (padahal umumnya tidak ada pegawai kontrakan itu dapat pesangon), bisa membeli helikopter, dan membebaskan para koruptor kelas kakap yang selama ini membuat bangsa Indonesia jatuh miskin. Subsidi negara untuk pendidikan terkonsentrasi ke sekolah-sekolah favorit, sementara sekolah-sekolah swasta pinggiran yang menampung golongan miskin dan bodoh malah tidak ada subsidi sama sekali. Lalu kepada siapa anak-anak miskin dan bodoh itu mengeluhkan soal nasibnya bila negeri sendiri tidak peduli pada mereka?
Rasa pedih tidak bisa bersekolah sebetulnya tidak hanya dirasakan anak- anak, tetapi juga oleh orangtua yang berhasrat menyekolahkan anaknya, tetapi terbentur masalah biaya yang tidak terjangkau. Mahalnya biaya pendidikan dari taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi (PT) membuat orangtua miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Mengingat, masuk TK dan SDN saja sekarang ada yang memungut biaya Rp 500.000-Rp 1.000.000, bahkan banyak yang di atas Rp 1 juta. Sementara masuk ke SLTP-SLTA bisa mencapai Rp 1 juta-Rp 5 juta (tergantung sekolah). Celakanya, kini SLTP/SLTA negeri tidak otomatis lebih murah dibandingkan negara sekolah swasta. Semua amat tergantung kebijakan sekolah masing-masing.
Bayar sendiri
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Di negara-negara lain seperti Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat yang lebih dulu menjalankan MBS, memaknai MBS sebagai proses demokratisasi pengambilan keputusan di sekolah. Bila semula keputusan dilakukan secara tunggal oleh negara, dengan adanya MBS itu proses pengambilan keputusan dilakukan bersama pihak-pihak yang terlibat (multistakeholder), termasuk orangtua murid dan murid sendiri. MBS sama sekali tidak berkait dengan masalah biaya karena pembiayaan pendidikan tetap menjadi tanggung jawab negara.
Namun, di Indonesia MBS dimaknai lain, terutama untuk melakukan mobilisasi dana, bukan sebagai proses demokratisasi pengambilan keputusan pendidikan. Karena itu, pembentukan Komite Sekolah/Dewan Pendidikan-yang merupakan organ MBS-selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas.
Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok "sesuai keputusan Komite Sekolah". Namun, pada tingkat implementasinya tidak transparan karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan kepala sekolah, persis seperti Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) di masa lalu. Dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap masalah pendidikan warganya.
Keluhan masyarakat dalam hal pendidikan, terutama golongan miskin, karena dari soal seragam sekolah, tas, sepatu, buku pelajaran, buku tulis, uang gedung, sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), tabungan, dan sejenisnya harus diusahakan dalam waktu amat singkat dan bersamaan, tidak otomatis mendapat respons dari Komite Sekolah. Sebaliknya, pihak sekolah melalui Komite Sekolah justru menegaskan, semua ini terjadi karena kini MBS, jadi semua harus diusahakan oleh sekolah. Dengan kata lain, MBS kependekan dari "Masyarakat Bayar Sendiri". Karena MBS, masyarakat bayar sendiri pendidikannya.
Kondisinya akan lebih buruk lagi bila kelak RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) disahkan menjadi UU BHP. Berubahnya status lembaga pendidikan dari milik publik ke bentuk badan hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Oleh karena itu, RUU BHP itu harus ditolak, jangan sampai disahkan menjadi undang-undang.
Kehadiran UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang semula diharapkan dapat melindungi warga, ternyata malah mengaburkan hak- hak warga negara untuk memperoleh akses pendidikan dari negara. Pasal 34 Ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 menyatakan "Pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun tanpa memungut biaya". Namun, bunyi ayat ini dianulir oleh Pasal 46 Ayat (1) yang menyatakan, "Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat".
Adanya dua pasal kontradiktif itu memperlemah posisi warga. Warga yang menuntut pelayanan pendidikan secara gratis dapat dituntut balik dengan kata- kata "bukankah pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat?" Pasal 46 UU Nomor 20 Tahun 2003 inilah yang lalu menjadi cantolan pelaksanaan MBS.
Cara pemerintah melempar tanggung jawab pembiayaan pendidikan ke MBS itu lalu ditiru pengelola sekolah swasta. Meski masyarakat sudah tahu kalau sekolah-sekolah swasta itu sejak dulu mendapat subsidi kecil dari pemerintah, para pengelola sekolah swasta selalu melegitimasi pungutannya pada "MBS".
Karena MBS, sekolah harus mandiri sehingga biaya sekolah harus dinaikkan. Namun, transparansi dalam pengelolaan anggaran pendidikan tidak terjadi sama sekali.
Mengakhiri stres
Stres masyarakat yang pusing mencari sekolah dan biaya sekolah harus cepat diakhiri sebelum berkembang menjadi sakit jiwa. Ada beberapa langkah teknis dan strategis guna mengurangi stress itu. Pertama, secara teknis, Depdiknas perlu merevisi kalender pendidikan yang mengatur jadwal ujian akhir, ulangan umum semester genap, libur akhir tahun ajaran, penerimaan murid baru, dan permulaan tahun ajaran baru agar tidak berdekatan. Jadwal yang terlalu berdekatan membuat orangtua maupun murid tidak sempat bernafas. Orangtua terus diburu mencari biaya dan murid terus ditekan untuk belajar tiada henti. Kini, berilah kesempatan kepada orangtua dan murid untuk rileks sejenak melalui kecerdasan membuat kalender pendidikan.
Kedua, yang lebih strategis adalah mengoreksi konsep MBS dan organ (Komite Sekolah/Dewan Pendidikan) agar berfungsi sebagai proses pendemokratisasian pendidikan, bukan untuk mobilisasi dana pendidikan. Dana pendidikan tetap menjadi tanggung jawab negara, negara mampu menggratiskan biaya pendidikan bagi warganya yang miskin dari SD-PT asalkan mau. Terbukti banyak uang negara yang dikorup pejabatnya, pengusaha, bayar utang, membeli Sukhoi, operasi militer, dan inefisiensi lainnya. Jadi, jangan atas karena korupsi pejabat, masyarakat menjadi korban.
Ketiga, revisi UU No 20/2003 yang menjadi titik awal privatisasi pendidikan, sekaligus melempar tanggung jawab negara terhadap urusan pendidikan warganya. Pendidikan tetap menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh negara.
Keempat, batalkan rencana pembahasan dan pengesahan RUU BHP menjadi UU BHP karena hal itu akan mengantarkan bangsa ini masuk ke jurang kebodohan sepanjang masa.
Darmaningtyas Anggota Dewan Penasihat CBE di Jakarta
INAWATI (13) gadis cilik dari Bogor itu menuturkan, dirinya tidak sekolah ke jenjang SLTP karena tidak punya biaya. Ayahnya seorang pengangguran, kadang menjual minuman botol. Sementara ibunya hanya pekerja rumah tangga. Karena keinginan sekolahnya tinggi, ia masuk ke sanggar belajar yang difasilitasi lembaga swadaya masyarakat. Namun, itu tidak dikatakan kepada ibunya karena pasti tidak diizinkan. Ibunya menuntut dia bekerja untuk menopang ekonomi keluarga.
KISAH itu terungkap saat dialog dengan anak-anak miskin di Jakarta, 23 Juli 2004, yang diprakarasai Yayasan Kelopak dan kawan-kawan. Ketika ditanya, "siapa yang tidak bersekolah?", ternyata yang tunjuk jari lebih dari 10 anak atau sekitar 20 persen dari anak-anak yang hadir. Semua anak yang tidak bersekolah itu memiliki alasan sama: tidak ada biaya dan dituntut bekerja oleh orangtuanya. Di Yogyakarta, ada orangtua yang menunda anaknya masuk sekolah dasar (SD) guna menunggu kakaknya lulus dulu sehingga bebannya tidak berat.
Bila kita melihat bahwa stratifikasi sosial di masyarakat "didominasi" kelas bawah, kasus anak-anak tidak bisa sekolah karena masalah biaya itu menjadi amat banyak, jumlahnya mencapai jutaan, hanya saja tidak termonitor.
Atas keadaan itu, negara juga tidak peduli terhadap nasib orang miskin. Terbukti, pada acara dialog itu, tidak seorang pun pejabat negara hadir meski Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) diundang. Bahkan, wakil dari Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang berjanji hadir pun tidak jadi datang. Mereka memilih pergi ke Ancol yang dihadiri Presiden Megawati serta anak-anak kaya dan pintar. Anak-anak yang miskin dan terpinggirkan tidak memperoleh perhatian sama sekali.
Kemiskinan dan ketidakadilan
Kemiskinan dan ketidakadilan merupakan akar masalah dari persoalan rendahnya angka partisipasi di SLTP sehingga Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP baru mencapai 77,40 persen meski program Wajib Belajar Sembilan Tahun sudah berlangsung sepuluh tahun. Mayoritas alasan tidak bersekolah adalah karena faktor biaya. Namun di lain pihak, pertumbuhan kendaraan pribadi di kota-kota besar maupun kecil amat tinggi. Ini menunjukkan adanya suatu ironi ketidakadilan: di antara banyak orang-orang yang hidup dalam kemiskinan, banyak pula yang hidup dalam kemewahan. Masalahnya, adanya ketidakpekaan dari yang kaya terhadap yang miskin.
Ironisnya, ketidakadilan juga diperlihatkan negara. Di satu pihak anggaran pendidikan dikurangi dengan alasan negara sedang bangkrut, tetapi di lain pihak negara bisa membayar bunga dan cicilan utang luar negeri yang mencapai Rp 134 triliun dalam satu tahun, bisa memberi uang pesangon pegawai kontrakan BPPN ratusan miliar (padahal umumnya tidak ada pegawai kontrakan itu dapat pesangon), bisa membeli helikopter, dan membebaskan para koruptor kelas kakap yang selama ini membuat bangsa Indonesia jatuh miskin. Subsidi negara untuk pendidikan terkonsentrasi ke sekolah-sekolah favorit, sementara sekolah-sekolah swasta pinggiran yang menampung golongan miskin dan bodoh malah tidak ada subsidi sama sekali. Lalu kepada siapa anak-anak miskin dan bodoh itu mengeluhkan soal nasibnya bila negeri sendiri tidak peduli pada mereka?
Rasa pedih tidak bisa bersekolah sebetulnya tidak hanya dirasakan anak- anak, tetapi juga oleh orangtua yang berhasrat menyekolahkan anaknya, tetapi terbentur masalah biaya yang tidak terjangkau. Mahalnya biaya pendidikan dari taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi (PT) membuat orangtua miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Mengingat, masuk TK dan SDN saja sekarang ada yang memungut biaya Rp 500.000-Rp 1.000.000, bahkan banyak yang di atas Rp 1 juta. Sementara masuk ke SLTP-SLTA bisa mencapai Rp 1 juta-Rp 5 juta (tergantung sekolah). Celakanya, kini SLTP/SLTA negeri tidak otomatis lebih murah dibandingkan negara sekolah swasta. Semua amat tergantung kebijakan sekolah masing-masing.
Bayar sendiri
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Di negara-negara lain seperti Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat yang lebih dulu menjalankan MBS, memaknai MBS sebagai proses demokratisasi pengambilan keputusan di sekolah. Bila semula keputusan dilakukan secara tunggal oleh negara, dengan adanya MBS itu proses pengambilan keputusan dilakukan bersama pihak-pihak yang terlibat (multistakeholder), termasuk orangtua murid dan murid sendiri. MBS sama sekali tidak berkait dengan masalah biaya karena pembiayaan pendidikan tetap menjadi tanggung jawab negara.
Namun, di Indonesia MBS dimaknai lain, terutama untuk melakukan mobilisasi dana, bukan sebagai proses demokratisasi pengambilan keputusan pendidikan. Karena itu, pembentukan Komite Sekolah/Dewan Pendidikan-yang merupakan organ MBS-selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas.
Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok "sesuai keputusan Komite Sekolah". Namun, pada tingkat implementasinya tidak transparan karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan kepala sekolah, persis seperti Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) di masa lalu. Dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap masalah pendidikan warganya.
Keluhan masyarakat dalam hal pendidikan, terutama golongan miskin, karena dari soal seragam sekolah, tas, sepatu, buku pelajaran, buku tulis, uang gedung, sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), tabungan, dan sejenisnya harus diusahakan dalam waktu amat singkat dan bersamaan, tidak otomatis mendapat respons dari Komite Sekolah. Sebaliknya, pihak sekolah melalui Komite Sekolah justru menegaskan, semua ini terjadi karena kini MBS, jadi semua harus diusahakan oleh sekolah. Dengan kata lain, MBS kependekan dari "Masyarakat Bayar Sendiri". Karena MBS, masyarakat bayar sendiri pendidikannya.
Kondisinya akan lebih buruk lagi bila kelak RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) disahkan menjadi UU BHP. Berubahnya status lembaga pendidikan dari milik publik ke bentuk badan hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Oleh karena itu, RUU BHP itu harus ditolak, jangan sampai disahkan menjadi undang-undang.
Kehadiran UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang semula diharapkan dapat melindungi warga, ternyata malah mengaburkan hak- hak warga negara untuk memperoleh akses pendidikan dari negara. Pasal 34 Ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 menyatakan "Pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun tanpa memungut biaya". Namun, bunyi ayat ini dianulir oleh Pasal 46 Ayat (1) yang menyatakan, "Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat".
Adanya dua pasal kontradiktif itu memperlemah posisi warga. Warga yang menuntut pelayanan pendidikan secara gratis dapat dituntut balik dengan kata- kata "bukankah pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat?" Pasal 46 UU Nomor 20 Tahun 2003 inilah yang lalu menjadi cantolan pelaksanaan MBS.
Cara pemerintah melempar tanggung jawab pembiayaan pendidikan ke MBS itu lalu ditiru pengelola sekolah swasta. Meski masyarakat sudah tahu kalau sekolah-sekolah swasta itu sejak dulu mendapat subsidi kecil dari pemerintah, para pengelola sekolah swasta selalu melegitimasi pungutannya pada "MBS".
Karena MBS, sekolah harus mandiri sehingga biaya sekolah harus dinaikkan. Namun, transparansi dalam pengelolaan anggaran pendidikan tidak terjadi sama sekali.
Mengakhiri stres
Stres masyarakat yang pusing mencari sekolah dan biaya sekolah harus cepat diakhiri sebelum berkembang menjadi sakit jiwa. Ada beberapa langkah teknis dan strategis guna mengurangi stress itu. Pertama, secara teknis, Depdiknas perlu merevisi kalender pendidikan yang mengatur jadwal ujian akhir, ulangan umum semester genap, libur akhir tahun ajaran, penerimaan murid baru, dan permulaan tahun ajaran baru agar tidak berdekatan. Jadwal yang terlalu berdekatan membuat orangtua maupun murid tidak sempat bernafas. Orangtua terus diburu mencari biaya dan murid terus ditekan untuk belajar tiada henti. Kini, berilah kesempatan kepada orangtua dan murid untuk rileks sejenak melalui kecerdasan membuat kalender pendidikan.
Kedua, yang lebih strategis adalah mengoreksi konsep MBS dan organ (Komite Sekolah/Dewan Pendidikan) agar berfungsi sebagai proses pendemokratisasian pendidikan, bukan untuk mobilisasi dana pendidikan. Dana pendidikan tetap menjadi tanggung jawab negara, negara mampu menggratiskan biaya pendidikan bagi warganya yang miskin dari SD-PT asalkan mau. Terbukti banyak uang negara yang dikorup pejabatnya, pengusaha, bayar utang, membeli Sukhoi, operasi militer, dan inefisiensi lainnya. Jadi, jangan atas karena korupsi pejabat, masyarakat menjadi korban.
Ketiga, revisi UU No 20/2003 yang menjadi titik awal privatisasi pendidikan, sekaligus melempar tanggung jawab negara terhadap urusan pendidikan warganya. Pendidikan tetap menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh negara.
Keempat, batalkan rencana pembahasan dan pengesahan RUU BHP menjadi UU BHP karena hal itu akan mengantarkan bangsa ini masuk ke jurang kebodohan sepanjang masa.
Darmaningtyas Anggota Dewan Penasihat CBE di Jakarta
Profil Saya dan pandangan Saya tentang pendidikan saat ini
MOHAMMAD DAHLAN. Praktisi pendidikan tinggal di Bogor, dengan jabatan bidang penelitian dan pengembangan Yayasan Bina Sejahtera, kandidat Master Pendidikan dibidang Manajemen Pendidikan di Pascasarjana Universitas Pakuan, selain praktisi pendidikan juga seorang praktisi dibidang Keuangan dan Akuntansi, Sarjana Ekonomi diraih di Sekolah Tinggi Ekonomi Indonesia, sebagai Junior Audit di KAP Rasin, Ichwan & Co. Supervisor Cost Accounting in PT Putra Sejati Spinning Mills, dan Accounting in Tiga Raksa Divisi Air Pressher, pernah di LSM, membantu secara personal penanganan sistem keuangan perusahaan, dan lembaga formal menengah dan kecil, Aktif di Dewan Masjid Indonesia kota Bogor, punya obsesi ingin menyelamatkan Indonesia secara praktis dan konsep dibidang pendidikan, yang secara sistematis mengalami kerusakan sebagai akibat kerusakan struktural, politik yang terjadi saat ini, lalu konsep apa yang tepat untuk bisa menyelamatkan pendidikan di Indonesia, konsep yang paling orsinil yang datang dari akar budaya Masyarakat Indonesia adalah menjadikan pola, strategi dan pendekatan pendidikan di tengah Masyarakat Idonesia melalui pendekatan Kecerdasan Spiritual, bukti bomingnya training ESQ-nya Ari Ginanjar, bahwa secara personal Bangsa Indonesia mengendaki pendekatan Spiritual lah yang paling diminati oleh Masyarakat ini... bagai mana permasalahannya, solusi serta pemaparannya.. ? ikuti terus Blog ini kita bisa saring dan saling melengkapi... berpijak pada Wahyu Illahi " Al Insanu Khataa.. " bahwa manusia itu tempatnya Salah.. mari saling berbagi dalam kembaikan dengan cara yang sabar (berpijak kepada nalar yang didasarkan pada kecerdasan Spiritual).. tidak emosional (berpijak kepada emosi yang tidak terkendali) atau Ego (berpijak kepada nalar yang didasarkan pada aktualisasi diri/Kesombongan).. wallahu a'lam bissawab..
Langganan:
Postingan (Atom)